LESINDO.COM – Di balik kabut tipis yang menyelimuti lereng Gunung Lawu, ketenangan alam tampak seperti biasa. Pepohonan pinus menjulang, udara sejuk menyapa, dan aroma tanah basah menyeruak setelah hujan. Namun, di balik keheningan itu, gelombang penolakan sedang bergejolak. Warga dari sejumlah desa di lereng Lawu, terutama di Kecamatan Tawangmangu dan Ngargoyoso, menolak rencana eksplorasi panas bumi (geothermal) yang digagas pemerintah pusat.
Mereka khawatir, proyek yang digadang-gadang sebagai solusi energi hijau itu justru akan merusak ekosistem Lawu yang selama ini menjadi sumber kehidupan, bukan hanya secara ekonomi tetapi juga spiritual.
“Kami bukan menolak kemajuan, tapi kami ingin alam Lawu tetap lestari. Di sini ada sumber air, kebun, dan tempat sakral yang kami hormati,” ujar Suwarno (54), warga Desa Berjo, saat ditemui di sela aksi penolakan beberapa waktu lalu.
Benturan antara Energi dan Ekologi
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pengembangan proyek panas bumi Gunung Lawu untuk memperkuat pasokan energi baru terbarukan (EBT). Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di kawasan ini mencapai sekitar 165 megawatt, cukup besar untuk menyuplai listrik bagi puluhan ribu rumah tangga.
Namun bagi warga, istilah “eksplorasi” memunculkan trauma lama—bayangan alat berat, pembukaan lahan, dan gangguan pada sumber mata air. Gunung Lawu selama ini dikenal sebagai kawasan penyangga ekologis penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain menjadi habitat beragam flora-fauna endemik, lerengnya juga menjadi sumber air bagi masyarakat di Karanganyar dan sekitarnya.
“Kalau hutan dibuka untuk proyek, sumber air bisa hilang. Kami petani akan kehilangan kehidupan,” kata Siti Aminah (42), petani sayur di lereng Lawu.
Nada Protes dari Lereng ke Kabupaten
Penolakan ini tak hanya disuarakan di desa-desa. Sejumlah organisasi masyarakat dan pemerhati lingkungan turut menyuarakan keberatan. Mereka menggelar aksi damai di depan Kantor Bupati Karanganyar, membawa poster bertuliskan “Lawu Bukan untuk Dieksploitasi” dan “Energi Bersih, Tapi Jangan Kotori Alam”.
Pemerintah Kabupaten Karanganyar sendiri meminta agar pemerintah pusat dan investor berhati-hati. Dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa pihaknya mendukung pen

gembangan energi baru, tetapi harus mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan.
“Lawu bukan sekadar gunung, tapi simbol kehidupan masyarakat Karanganyar. Kami ingin setiap kebijakan mempertimbangkan aspirasi warga,” ujar Bupati.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Sementara itu, pihak Kementerian ESDM menegaskan bahwa proyek geothermal tidak akan merusak lingkungan. Mereka berkomitmen menggunakan teknologi ramah lingkungan serta melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengawasan. Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) disebut akan dilakukan secara ketat.
Namun bagi warga, janji itu belum cukup. Pengalaman daerah lain yang terdampak proyek serupa membuat mereka tetap waspada.
Di tengah perdebatan itu, Lawu tetap berdiri megah. Di puncaknya, kabut menari di antara pepohonan, seolah menyimpan rahasia masa depan: apakah ia akan menjadi simbol kemajuan energi hijau, atau saksi bisu dari benturan antara ambisi dan harmoni alam. (Ro)