Oleh Kang Muhamad
Kontemplasi Catatan Perjalanan
Di dalam bus yang pelan-pelan menua, lima belas jiwa duduk berjejer seperti alinea-alinea yang sedang menunggu untuk dibaca. Getaran mesin menyatukan mereka, tetapi hati masing-masing tetap berkelana ke arah yang berbeda—seakan hidup sengaja menyusun ironi: bersama dalam ruang, terpisah dalam tujuan.
Keragaman yang Menyempil dalam Keheningan
Seragam dinas yang rapi bersandar di samping jaket pendaki yang masih menyimpan aroma tanah basah. Satu melambangkan keteraturan, satu lagi kerinduan pada kebebasan. Ada wajah yang tersenyum kecil seolah menyapa harapan, ada yang menatap jendela sambil menggenggam sunyi, dan ada pula yang bersembunyi di balik kupluk—mungkin bukan karena dingin, melainkan karena hati sedang butuh ruangnya sendiri.
Tak ada yang berbicara. Tetapi justru dalam diam itu, manusia tampak paling jujur.
Tujuan Sama, Namun Hati Tak Pernah Searah
Bus ini memang menuju tempat yang sama, tetapi hidup mereka mengalir seperti sungai yang tak pernah bertemu muara yang sama.
- Pencari Stabilitas duduk dengan napas lega—seakan perjalanan ini adalah jeda kecil dari kekhawatiran yang saban hari mengetuk.
- Pengejar Impian membawa cahaya di matanya—cahaya yang kadang redup, kadang menyala, tetapi selalu berusaha bertahan.
- Pengelana Batin memandangi lantai, bukan karena sedih, tetapi karena sedang menyulam ulang arah hidup yang sempat kusut.
- Para Pembawa Misi Kelompok tampak serempak, namun di balik keheningan, masing-masing menggenggam harapan kecil yang tak pernah mereka ucapkan.
Satirnya Lembut, Tapi Mengena
Hidup selalu punya caranya sendiri untuk menertawakan kita. Ia menyatukan orang-orang dalam perjalanan yang sama, seakan ingin mengingatkan bahwa kita ini tak lebih dari penumpang yang mencoba tampak yakin di tengah ketidaktahuan.
Kita sering merasa mengendalikan arah, padahal banyak kali hidup hanya meminta kita duduk, berpegangan, dan percaya bahwa guncangan jalan itu bagian dari cerita yang tak bisa kita pilih.
Dan Pada Akhirnya…
ini menjadi pengingat bahwa setiap manusia adalah jagat raya kecil yang berputar pada gravitasi harapannya masing-masing. Kita duduk berdampingan, tetapi tidak pernah benar-benar menuju tempat yang sama.
Namun di tengah perbedaan itu, ada sesuatu yang hangat: kesadaran bahwa kita semua sedang berusaha, dengan caranya sendiri, untuk pulang—entah ke rumah, ke mimpi, atau ke diri yang sudah lama kita tinggalkan.
Dalam riak-riak bus yang bergoyang, hati kita berbisik pelan:
“Semoga perjalanan ini membawaku ke tempat yang tak hanya kutuju… tetapi yang juga kutemukan.”

